Oleh: r324 | November 18, 2009

Kehebatan Emas Dan Perak

Emas Koin dan Batangan

Apa yang kita namakan dengan mata uang sekarang ini, yaitu Dollar, Yen, Rupiah, Poundsterling, Euro, dan sebagainya, pada hakikatnya hanya selembar kertas biasa (dan yang berbentuk koin juga koin biasa yang tak ada harganya), yang hanya menjadi “uang” karena ada jaminan dari bank. Bank sendiri berani menjamin mata uang yang tak berharga tersebut karena memiliki cadangan devisa berupa emas dan perak.

Sejak berabad-abad silam, emas dan perak telah menjadi logam mulia yang diagungkan oleh banyak manusia. Bahkan emas dan perak, juga batu permata, telah dipergunakan oleh raja-raja, para sultan, para diktator, tiran, dan sebagainya sebagai bahan dasar pembuatan mahkota mereka.

Pertanyaannya seperti yang ditanyakan oleh A. Riawan Amin dalam buku “The Satanic Financial: True Conspiracies” (Celestial Publishing, 2007): “Kenapa Tuhan perlu menciptakan emas dan perak?”

Presiden Direktur Bank Muamalat Indonesia yang getol mengkampanyekan penggunaan emas dan perak sebagai mata uang sejati ini mengutip Ibnu Khaldun dalam ‘Muqaddimah”nya: “Tuhan menciptakan dua logam mulia itu untuk menjadi alat pengukur nilai atau harga (measure of value) bagi segala sesuatu. ”

Al-Maqrizi dalam “Ighatsah” juga menyatakan, “Allah menciptakan dua logam mulia itu bukan sekadar sebagai alat pengukur nilai, atau untuk menyimpan kekayaan (investasi), tetapi juga sebagai alat tukar (medium of exchange). ” Karena tingginya kedudukan emas dan perak inilah maka banyak kalangan menganggap kedua logam mulia tersebut sebagai Heaven’s Currency (Mata uang surga).

A. Riawan Amin menulis, “Masyarakat kuno sudah menggunakan emas, perak, dan tembaga untuk transaksi ekonomi. Emas dan perak dipilih karena kelangkaan (rare) dan warnanya yang indah. Dalam sejarah manusia, tak lebih dari 90. 000 ton emas yang ditambang dari perut bumi. Sementara perak dan tembaga untuk memenuhi transaksi dengan nilai yang lebih rendah dari emas. ”

Uniknya, tambah Amin, dunia modern mengklasifikasikan logam-logam mulia tersebut dalam kolom yang sama. Tabel Periodik menempatkan emas, perak, dan tembaga (dengan simbol masing-masing Au, Ag, dan Cu) dalam kelompok yang sama yakni Golongan 11. Berbeda dengan kebanyakan logam lainnya, emas memiliki sifat yang sangat istimewa.

Pertama, ia tidak bisa diubah dengan bahan kimia apa pun. Archimedes (300 SM) membuktikan bahwa emas bisa dideteksi tanpa merusak dan hanya dengan menggunakan air tawar biasa. Karena bukan termasuk logam yang aktif maka emas tidak terpengaruh oleh air dan udara. Tidak seperti besi atau logam lainnya, emas tidak bisa berkarat.

Selain itu, emas juga termasuk logam yang sangat lunak. Bisa ditempa menjadi lempengan yang super tipis dan bisa juga ditempa menjadi kawat dengan ketebalan super mini. Bayangkan saja, satu ons emas bisa ditempa dengan luas seukuran 100 kaki persegi atau dibuat kawat sepanjang 50 mil!

Emas juga dikenal sebagai logam mulia paling berat. Satu kaki kubik emas beratnya mencapai lebih dari setengah ton. Itulah sebabnya mengapa dalam sejarah manusia tidak pernah ada pencurian emas dalam skala besar karena untuk itu diperlukan alat berat untuk mengangkatnya.

Dan Maha Besar Allah SWT yang telah menciptakannya, sepanjang sejarah manusia, penambangan emas dunia dari tahun ke tahun hanya mengalami kenaikan dua persen tiap tahunnya. Dalam setahun seluruh industri tambang emas dunia menghasilkan kira-kira 2.000 ton emas. Bandingkan dengan produksi baja AS sejak 1995 seperti yang dirilis Iron and Steel Institute yang bermarkas di Washington DC yang mencapai 10. 500 ton perjamnya. Sebab itu, emas sungguh-sungguh logam yang sanga langka dan sangat stabil nilainya sejak awal sejarah manusia hingga kini.

Sumber: eramuslim

Oleh: r324 | November 25, 2008

Download OST Tokyo Love Story

Tokyo Love Story

Rika (Honami Suzuki)

Rika (Honami Suzuki)

Kanji (Yuji Oda)

Kanji (Yuji Oda)

Satomi (Narimi Arimori)

Satomi (Narimi Arimori)

Migami (Yousuke Eguchi)

Migami (Yousuke Eguchi)

Naoko (Akiho Sendou)

Naoko (Akiho Sendou)

Halo fren masih inget ga? sama drama jepang ini, yang tayang di jepang tahun1991 dan baru tayang di indonesia tahun 1994-an kayanya, di Indosiar gw suka banget drama cinta 3 wanita dan 2 pria ini coz romantic bgt tp endingnya bikin gw ksl bngt coz ga happy ending, oh ya, katanya juga drama ini adalah drama jepang yang Most Famous In The World, KERENZ…. lagu sountrackya juga enak bngt lgndaris! kalo km jg sk sama ost nya km bs donlot:

Bagi yang ngefans sama opa gw neil sedaka ini atau yang suka sama lagu klasik “oh carol” 1959 silakan download disini \”Oh Carol\”

coz buat gw lagu ini “so beautiful”  n videonya “antik” lagi!hoho….

note; coz video ini bentuknya flv jadi bukanya harus pake flash player atw pake windows media player classic jg bisa

Oleh: r324 | Juni 3, 2008

Tindak Pidana Di Bidang Perbankan

Tindak Pidana DI Bidang Perbankan

1. Pengertian Tindak Pidana

Pengertian dari tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh satu peraturan hukum, larangan yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut, dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana, adalah suatu perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditujukan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang). Sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang melakukannya (Moeljatno, 1983:63).

Berdasarkan rumusan tindak pidana yang dirumuskan oleh Moeljatno ini tindak pidana mengandung unsur-unsur,yaitu:
a. Perbuatan;
b. Yang dilarang (oleh aturan hukum);
c. Ancaman pidana (bagi yang melanggar).

Tidak pidana tidak hanya semata sebagai gejala hukum. Para ahli hukum pun menganalisis terhadap tindak pidana tersebut. Berbagai pengertian tindak pidana dikemukakan yang didasarkan dari sudut mana mereka memandang, apakah dari segi sosiologis, psikologis, atau dari segi lainnya. Ini memang hal yang wajar mengingat keterkaitan tidak pidana dengan aspek-aspek lain merupakan keterkaitan yang saling mendukung dan mempengaruhi.

Berdasarkan sumbernya, maka ada 2 kelompok tindak pidana, yaitu tindak pidana umum dan tindak pidana khusus. Tindak pidana umum adalah semua tindak pidana yang dimuat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), sebagai kodifikasi hukum pidana materill. Sedangkan tindak pidana khusus adalah semua tindak pidana yang terdapat di luar kodifikasi tersebut. Seperti tindak pidana perbankan yang masuk ke dakam golongan tindak pidana khusus karena tindakm pidana perbankan dan sanksi pidananya telah diatur tersendiri dalam UUP.

Walaupun telah ada kodifikasi tetapi, adanya tindak pidana diluar KUHP adalah suatu keharusan yang tidak dapat dihindari.karena perbuatan-perbuatan tertentu yang dinilai merugikan masyarakat dan patut diancam dengan pidana itu terus berkembang sesuai dengan perkembangan teknologi dan kemajuan ilmu pengetahuan.

2. Tindak Pidana Perbankan

Saat ini belum ada satu kesepakatan dalam pemakaian istilah mengenai tindak pidana yang perbuatannya merugikan ekonomi keuamgan yang berhubungan dengan lembaga perbankan. Ada yang memakai istilah Tindak Pidana Perbankan, dan ada juga yang memakai istilah Tindak Pidana di bidang perbankan, bahkan ada yang memakai kedua-keduanya dengan mendasarkan kepada peraturan yang dilanggarnya. Berkaitan dengan hal ini Moh Anwar (Muhamad Djumhana, 2003:454), membedakan kedua pengertian tersebut berdasarkan kepada perbedaan perlakuan peraturan terhadap perbuatan-perbuatan yang telah melanggar hukum yang sehubungan dengan kegiatan-kegiatan dalam menjalankan usaha bank.

Berdasarkan hal tersebut diatas, bisa disimpulkan bahwa terdapat dua istilah yang seringkali dipakai secara bergantian walaupun maksud dan ruang lingkupnya bisa berbeda. Pertama, adalah “Tindak Pidana Perbankan” dan kedua, “Tindak Pidana di Bidang Perbankan”. Yang pertama mengandung pengertian tindak pidana itu semata-mata dilakukan oleh bank atau orang bank, sedangkan yang kedua tampaknya lebih netral dan lebih luas karena dapat mencakup tindak pidana yang dilakukan oleh orang di luar dan di dalam bank atau keduanya.

Istilah “tindak pidana di bidang perbankan” dimaksudkan untuk menampung segala jenis perbuatan melanggar hukum yang berhubungan dengan kegiatan-kegiatan dalam menjalankan usaha bank. Tidak ada pengertian formal dari tindak pidana di bidang perbankan. Ada yang mendefinisikan secara popular, bahwa tindak pidana perbankan adalah tindak pidana yang menjadikan bank sebagai sarana (crimes through the bank) dan sasaran tindak pidana itu (crimes against the bank).

Dimensi bentuk tindak pidana perbankan, bisa berupa tindak kejahatan seseorang terhadap bank, tindak kejahatan bank terhadap bank lain, ataupun kejahatan bank terhadap perorangan sehingga dengan demikian bank dapat menjadi korban maupun pelaku. Adapun dimensi ruang, tindak pidana perbankan tidak terbatas pada suatu ruang tertentu bias melewati batas-batas territorial suatu negara, begitu pula dimensi bentuk bisa terjadi seketika, tetapi juga bisa berlangsung beberapa lama. Adapun ruang lingkup terjadinya tindak pidana perbankan, dapat terjadi pada keseluruhan lingkup kehidupan dunia perbankan atau yang sangat berkaitan dengan kegiatan perbankan dan kebih luasnya mencakup jiga lembaga keuangan lainnya, sedangkan ketentuan yang dapat dilanggarnya baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis juga meliputi norma-norma kebiasaan pada bidang perbankan, namun semua itu tetap harus telah diatur sanksi pidananya. Lingkup pelaku dan tindak pidana perbankan dapat dilakukan oleh perorangan maupun badan hukum (korporasi).

3. Jenis-Jenis Tindak Pidana Perbankan

Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (selanjutnya disebut UU Perbankan) menetapkan tiga belas macam tindak pidana yang diatur mulai dari Pasal 46 sampai dengan Pasal 50A. Ketiga belas tindak pidana itu dapat digolongkan ke dalam empat macam, yaitu:
a Tindak pidana yang berkaitan dengan perizinan
b Tindak Pidana yang berkaitan dengan rahasia bank
c Tindak pidana yang berkaitan dengan pengawasan dan pembinaan
d Tindak pidana yang berkaitan dengan usaha bank.

Adapun untuk lebih jelasnya maka keempat macam tindak pidana di bidang perbankan ini akan dijabarkan sebagai berikut:
a. Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Perizinan
Tindak pidana ini disebut juga dengan tindak pidana bank gelap. Pasal 46 Ayat (1) menyebutkan, bahwa barang siapa menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan tanpa izin usaha dari pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah). Ketentuan ayat (2) menyebutkan, bahwa dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas, perserikatan, yayasan atau koperasi, maka penuntutan terhadap badan-badan dimaksud dilakukan baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan perbuatan itu atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya. Ketentuan ini satu-satunya ketentuan dalam UU Perbankan yang mengenakan ancaman hukuman terhadap korporasi dengan menuntut mereka yang memberi perintah atau pimpinannya.
b. Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Rahasia Bank
Pasal 47 Ayat (1) UU Perbankan menyebutkan bahwa barang siapa tanpa membawa perintah tertulis atau izin dari pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, dan Pasal 42, dengan sengaja memaksa bank atau Pihak Terafiliasi untuk memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).

Ayat (2) Anggota Dewan Komisaris, Direksi, pegawai bank atau Pihak Terafiliasi lainnya yang dengan sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan menurut Pasal 40, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).

Pasal 47A. UU Perbankan menyebutkan bahwa Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42A dan Pasal 44A, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp.15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah)
c. Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Pengawasan Dan Pembinaan Bank
Pasal 48 Ayat (1) UU Perbankan menyebutkan bahwa Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Ayat (2) UU Perbankan menyebutkan bahwa, Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang lalai memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 Ayat (1) dan Ayat (2) dan Pasal 34 Ayat (1) dan Ayat (2),diancam dengan pidana kurungan sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun danpaling lama 2 (dua) tahun dan atau denda sekurang-kurangnya Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
d. Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Usaha Bank
Pasal 49 Ayat (1) UU Perbankan menyebutkan bahwa, Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja :
1) Membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank;
2) Menghilangkan atau tidak memasukkan atau menyebabkan tidak dilakukannya pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank;
3) Mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank, atau dengan sengaja mengubah, mengaburkan, menghilangkan, menyembunyikan atau merusak catatan pembukuan tersebut.

Diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp.200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).

Pasal 49 UU Ayat (2) Perbankan menyebutkan bahwa, Anggota Dewan Komisaris, Direksi atau pegawai bank yang dengan sengaja :
a) Meminta atau menerima, mengizinkan atau menyetujui untuk menerima suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, uang atau barang berharga, untuk keuntungan pribadinya atau untuk keuntungan keluarganya, dalam rangka mendapatkan atau berusaha mendapatkan bagi orang lain dalam memperoleh uang muka, bank garansi, atau fasilitas kredit dari bank, atau dalam rangka pembelian atau pendiskontoan oleh bank atas surat-surat wesel, surat promes, cek, dan kertas dagang atau bukti kewajiban lainya, ataupun dalam rangka memberikan persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan penarikan dana yang melebihi batas kreditnya pada bank;
b) Tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainya yang berlaku bagi bank,

Diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).

Selanjutnya Pasal 50 UU Perbankan menyebutkan bahwa, Pihak Terafiliasi yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).

Pasal 50A. UU Perbankan menyebutkan bahwa, Pemegang saham yang dengan sengaja menyuruh Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan bank tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam undang-undang ini dan ketentuan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 7 (tujuh) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).

4. Tindak Pidana Lain Yang Berkaitan Dengan Kegiatan Perbankan

Selain keempat macam tindak pidana di bidang perbankan yang telah disebutkan diatas sebenarnya ada tindak pidana lain yang berkaitan sangat erat dengan kegiatan perbankan yaitu:

a. Tindak Pidana Pasar Modal
b. Tindak Pidana Pencucian Uang

Adapun untuk lebih jelasnya maka keempat macam tindak pidana di bidang perbankan ini akan dijabarkan sebagai berikut:
a. Tindak Pidana Pasar Modal
Kebijakan formilatif mengenai Tindak Pidana Pasar Modal (TTPM) diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (selanjutnya disebut UUPM), pada bab XV tentang ketentuan pidana (pasal 103-110). Menurut pasal 110, TTPM terdiri dari dua kelompok jenis tindak pidana, yaitu:
1. TPPM yang berupa “kejahatan”, diatur dakam pasal 103 Ayat (1), pasal 104, pasal 106, dan pasal 107;
2. TPPM yang berupa “pelanggaran”, diatur dalam pasal 103 Ayat (2), pasal 105, dan pasal 109.

Berdasarkan hal tersebut diatas, Tindak Pidana Pasar Modal secara singkat dapat didefinisikan sebagai, segala perbuatan yang melanggar ketentuan-ketentuan pidana dalam Undang-Undang Pasar Modal.

Adapun peran bank dalam kegiatan pasar modal adalah sebagai berikut:
a. Bank sebagai kustodian, yaitu sebagai pihak yang memberikan jasa penitipan Efek dan harta lain yang berkaitan dengan Efek serta jasa lain, termasuk menerima dividen, bunga, dan hak-hak lain, menyelesaikan transaksi Efek, dan mewakili pemegang rekening yang menjadi nasabahnya;
b. Bank sebagai wali amanat, yaitu sebagai pihak yang mewakili kepentingan pemegang Efek yang bersifat utang.

Berdasarkan peranannya dalam kegiatan pasar modal, maka bank akan menjadi subjek TPPM jika:
a. Melanggar pasal 43 UU Pasar Modal, yaitu menyelenggarakan kegiatan usaha sebagai custodian tanpa persetujuan Bapepam;
b. Melanggar pasal 50 UU Pasar Modal, yaitu menyelenggarakan usaha sebagai wali amanat yang tidak terdaftar di Bapepam.

Pasal 103 Ayat (1) UU Pasar Modal menyebutkan bahwa Setiap Pihak yang melakukan kegiatan di Pasar Modal tanpa izin, persetujuan, atau pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 13, Pasal 18, Pasal 30, Pasal 34, Pasal 43, Pasal 48, Pasal 50, dan Pasal 64 diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
b. Tindak Pidana Pencucian Uang
Tindak Pidana Pencucian Uang (money laundering) secara populer dapat dijelaskan sebagai aktivitas memindahkan, menggunakan atau melakukan perbuatan lainnya atas hasil dari tindak pidana yang kerap dilakukan oleh organized crime maupun individu yang melakukan tindakan korupsi, perdagangan narkotik dan tindak pidana lainnya dengan tujuan menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul uang yang berasal dari hasil tindak pidana tersebut sehingga dapat digunakan seolah-olah sebagai uang yang sah tanpa terdeteksi bahwa uang tersebut berasal dari kegiatan ilegal.

Kegiatan money laundering dalam sistem keuangan pada umumnya dan sistem perbankan pada khususnya memiliki risiko yang sangat besar. Risiko tersebut antara lain risiko operasional, risiko hukum, risiko terkonsentrasinya transaksi, dan risiko reputasi. Bagi perbankan Indonesia tindakan pencucian uang merupakan suatu hal yang sangat rawan karena pertama, peranan sektor perbankan dalam sistem keuangan di Indonesia seperti yang dijelaskan sebelumnya, sangatlah penting. Oleh sebab itu sistem perbankanmenjadi perhatian utama dalam pelaksanaan rezim anti money laundering. Kedua, tingginya tingkat perkembangan teknologi dan arus globalisasi di sektor perbankan membuat industri perbankan menjadi lahan yang empuk bagi tindak kejahatan pencucian uang dan merupakan sarana yang paling efektif untuk melakukan kegiatan money laundering. Pelaku kejahatan dapat memanfaatkan bank untuk kegiatan pencucian uang karena jasa dan produk perbankan memungkinkan terjadinya lalu lintas atau perpindahan dana dari satu bank ke bank atau lembaga keuangan lainnya, sehingga asal usul uang tersebut sulit dilacak oleh penegak hukum.

Keterlibatan perbankan dalam kegiatan pencucian uang dapat berupa:
a. Penyimpanan uang hasil kejahatan dengan nama palsu;
b. Penyimpanan uang dalam bentuk deposito/tabungan/ giro;
c. Penukaran pecahan uang hasil perbuatan illegal;
d. Pengajuan permohonan kredit dengan jaminan uang yang disimpan pada
bank yang bersangkutan;
e. Penggunaan fasilitas transfer;
f. Pemalsuan dokumen-dokumen yang bekerjasama dengan oknum pejabat bank terkait; dan pendirian/pemanfaatan bank gelap.

Hal tersebut dapat terjadi mengingat adanya kemudahan dalam proses pengelolaan hasil kejahatan pada berbagai kegiatan usaha bank. Disamping itu, karena organisasi kejahatan membutuhkan pengelolaan keuangan dengan cara menempatkan dananya dalam kegiatan usaha perbankan maka penggunaan bank merupakan suatu hal yang sangat diperlukan dalam upaya mengaburkan asal-usul sumber dana. Hal tersebut menunjukkan eratnya keterkaitan antara organisasi kejahatan dan lembaga keuangan terutama bank.

Perbankan dengan segala kegiatannya dalam perekonomian menurut Adi Sulistiyono (2007: 321) dapat dikategorikan sebagai kegiatan dalam dunia bisnis, dan sebagai slah satu kegiatan dalam dunia bisnis maka dalam menyelesaikan sengketa yang timbul, perbankan memerlukan sarana penyelesaian sengketa yang efektif, karena sarana penyelesaian sengketa sangat penting bagi pembangunan ekonomi, berkaitan dengan ini Adam Smith menyatakan, bahwa (Adi Sulistiyono, 2007: 316) “hanya kedamaian, ringannya pajak, dan pelaksaan peradilan yang dapat diterima yang diperlukan untuk mengangkat negara yang paling melarat menjadi negara paling sejahtera, selebihnya tergantung pada faktor-faktor alami”. Menurut Adam Smith, faktor yang paling mendukung tercapainya peningkatan kemajuan ekonomi yang dapat ,peningkatkan kesejahteraan rakyat suatu negara, terdiri dari (M. Yahya Harahap, 1997: 149):
a. Kedamaian, dalam arti luas dapat diartikan stabilitas nasional dan internasional;
b. Pajak yang ringan, yaitu suatu tingkat pajak yang tidak membengkakan biaya produksi;
c. Peradilan yang dapat diterima, dalam arti sistem peradilan yang mampu dan cekatan menyelesaikan sengketa secara cepat dan murah.

Berdasarkan pendapat Adam Smith diatas, bisa kita simpulkan bahwa setiap kegiatan perekonomian tidak mungkin mencapai hasil yang memuaskan dan lancar tanpa dukungan sistem peradilan. Sistem peradilan ini harus dapat diterima karena kemampuannya menyelesaikan sengketa dengan cepat, tepat, dan biaya murah. Sistem peradilan yang mengingkari hakikat peradilan yang sederhana, cepat dan biaya murah, tidak sesuai dan tidak dapat diterima dalam dunia bisnis. Sistem peradilan yang lambat dan kurang responsif dalam menyelesaikan sengketa, merupakan peradilan yang tidak efektif terhadap kegiatan bisnis dan perekonomian, yang membuat kegiatan perekonomian menjadi tidak efisien, dikarenakan tidak adanya kepastian hukum yang mengakibatkan sengketa yang terus berlanjut dan.rusaknya kredibilitas para pihak yang besengketa. Oleh karena itu, cara penyelesaian sengketa yang seperti itu tidak dapat diterima dunia bisnis, karena tidak sesuai dengan tuntutan dunia bisnis.

Sistem penyelesaian sengketa yang diinginkan dunia bisnis adalah sistem penyelesaian yang sederhana, cepat, dan biaya ringan atau informal procedure and can be put in motion quickly . Dalam arti, penyelesaian sengketa tetap berada dalam jalur sistem yang formal dan dibenarkan hukum (M. Yahya Harahap, 1997: 150). Sebenarnaya sistem penyelesaian sengketa sederhana, cepat, dan biaya murah telah disebutkan sebagai asas dalam peradilan di Indonesia, pasal 4 ayat (2) Undang-undand nomor 4 Tahun 2004 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman. Jadi secara teoritis, tuntutan dunia bisnis yang menghendaki penyelesaian sengketa secara informal procedure and can be put in motion quickly, sudah tertampung dalam perundang-undangan Indonesia. Namun dalam kenyataan, asas itu langsung berhadapan dengan sistem upaya hukum dalam berbagai bentuk. Kita mengenal upaya hukum biasa yaitu banding, dan kasasi, juga berhadapan dengan upaya hukum luar biasa yaitu Peninjauan Kembali (PK). Akibatnya asas ini menjadi buyar hancur berantakan, dan penyelesaian sengketa menjadi formalistik, panjang, dan berbelit, memakan waktu yang lama, yang terjadi dalam kenyataan adalah buang waktu percuma, dan penyelesaian sengketa menjadi mahal.

Berdasarkan kenyataan yang demikian, maka tidak heran dicarilah suatu alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang mengandung asas sederhana, cepat, dan biaya ringan, oleh lembaga yang diterima dan disepakati masyarakat yaitu, Alternative Dispute Resolution (ADR).

Oleh: r324 | April 25, 2008

Cermin, Musuhku atau Temanku

Cerrmin…adalah sebuah benda yang memantulkan bayangan kita apa adanya…sebuah benda yang dibenci sekaligus dicintai…cermin akan dibenci oleh orang-oramg yang berpikiran sempit, yaitu orang yang memiliki masalah kepercayaan diri yaitu orang yang bahkan tidak menyukai dirinya sendiri dikarenakan oleh berbagai alasan fisik (banyak sekali contohnya, kamu tahulah…) yang seringkali sangat menggelikan menurut saya, mereka ini umumnya menjadi rendah diri karena merasa dirinya “tidak menarik” dan akibatnya karena alasan inilah mereka tidak disukai oleh orang lain, akibatnya mereka menjadi stress sendiri (jika mau didramatisir misalkan seorang pria/wanita yang memiliki badan yang sedikit BIG sedang bercermin…dia berlenggak-lenggok didepan cermin dengan tatapan membunuh tapi sekaligus matanya berkaca-kaca memandang bayangan tubuhnya sendiri , merasa sangat marah pada dirinya sendiri…mengapa aku begini kemudian mungkin akumulasi rasa marah menjurus frustasi ini berujung pada suatu tindakan melempar apapun yang ada didekatnya kearah cermin hingga cermin itu pecah! seperti…upilnya mungkin ^_^ jayus? sambil berteriak AKU BENCI KAMU suatu pernyataan yang ambigu entah dia benci pada cermin itu atau bayangan dirinya sendiri), bah! Menyedihkan… saya kasihan pada orang yang berpikiran seperti ini.

Menurut saya justru sikap mereka yang tidak percaya diri inilah yang menyebabkan orang lain kurang menyukai mereka,bagaimana mereka ingin disukai oleh orang lain jika bahkan mereka tidak menyukai diri mereka sendiri, jadi mental mereka inilah yang perlu dibenahi,cara yang paling mudah menurut saya adalah nereka harus belajar menyukai dirinya sendiri, cobalah mereka ketika bercermin mencari kelebihan pada diri mereka sendiri jangan terpaku pada kekurangan mereka, misalkan “ih…ternyata mata gw mirip mata luna maya yach…belo gitu…^_^” Sehingga dengan demikian akan membangkitkan kepercayaan diri, karena orang yang percaya diri akan menyebarkan aura positif yang disukai oleh orang lain. Intinya BE YOURSELF jadilah dirimu sendiri! Karena dalam jangka panjang sebenarnya factor fisik bukanlah penyebab orang lain menjadi disukai seseorang akan tetapi sikap dan pembawaan kitalah yang menyadi penyebab utama ketertarikan seseorang pada kita! Okelah misalkan…gw tertarik pada seorang gadis yang sangat menarik secara fisik akan tetapi kemudian gw tahu ternyata misalkan…dia narsis banget gitu…jadi ilfeel dech…jadi ketertarikan saya menjadi ketertarikan dalam jangka pendek semata yang segera menguap…

Akan tetapi selain dibenci cermin juga ternyata dicintai… tentu saja oleh orang-orang yang merasa diri mereka sangatlah menarik…mereka ini menjadi sangat menyukai cermin, ketika bercermin mereka akan senyum2 sendiri gitu,sambil bilang AKU CINTA KAMU… yang lebih parah jika mereka tidak hanya menyukai cermin saja akan tetapi menyukai segala sesuatu yang menampilkan bayangan mereka, seperti kaca mobil atau air dll, tapi tidak menjadi masalah sebenarnya jika kita sedikit narsis jika boleh dibilang begitu…asal jangan ketrlaluan aja narsisnya misalkan kita menganggap oranglain lebih rendah dari kita hanya karena kita menarik…”sedikit narsis menurut saya lebih baik daripada tidak percaya diri” (kalau gw,ga mau munafik gw sendiri termasuk “sedikit narsis gitu…Cuma sedikit lho..hahahaha…..” )

(Note: gw persembahkan opini gw ini buat teman gw yang lucu PT percaya diri dong!)

Pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ibarat dua sisi mata uang bagi dunia perbankan di Indonesia, di satu sisi dengan semakin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi ini semakin memudahkan transaksi ekonomi sehingga mempercepat pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Akan tetapi disisi lain kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ini dimanfaatkan oleh para pihak yang tidak bertanggung jawab untuk mempermudah melakukan tindak pidana perbankan, ini ditunjukan dari angka kasus perbankan yang tinggi di Indonesia.

Bank Indonesia mencatat angka pengaduan nasabah terhadap bank umum selama enam bulan pertama tahun 2007 mencapai 64.000. Sebagian besar pengaduan terkait sistem pembayaran di perbankan dengan 62.858 kasus atau sekitar 97,78% dari total aduan yang dilayangkan nasabah. Untuk pengaduan nasabah di bidang penghimpunan dana terdapat 877 kasus atau 1,36%, penyaluran dana tercatat 343 kasus atau 0,53%, produk kerja sama 189 kasus atau 0,29%, dan produk lain sebanyak 21 aduan atau 0,03% (SINDO 26 Desember, 2007).

Sementara tingkat penyelesaian tercatat sebanyak 58.875 pengaduan tanpa perpanjangan waktu 20 hari kerja (HK) atau sekitar 91,58% dan sebanyak 3.668 aduan atau 5,71% diselesaikan dengan perpanjangan waktu menjadi 40 HK. Kemudian yang dalam proses penyelesaian saat ini sebanyak 1.745 kasus atau 2,71%. Selain itu ada pengaduan mediasi ke BI selama Januari 2006 hingga November 2007 sebanyak 200 aduan. Berdasarkan jenis produk, sistem pembayaran tercatat 90 aduan atau 44%, produk kerja sama dan penyaluran dana sama-sama 33 pengaduan atau 17% (SINDO 26 Desember, 2007).

Pada penghimpunan dana, tercatat 29 aduan atau 15%, produk lainnya sebanyak enam aduan atau 3%, di luar permasalahan produk perbankan delapan pengaduan atau 4%. Dengan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, tren maupun kejahatan perbankan terus berkembang dan merugikan nasabah. Nasabah sering terjerat dalam tindak pidana yang menyangkut sistem pembayaran maupun yang lain. Contoh yang marak dilakukan adalah penipuan berhadiah melalui layanan SMS (SINDO 26 Desember, 2007).

Tindak pidana perbankan sendiri telah merusak citra bank sebagai lembaga kepercayaan masyarakat, Padahal, fungsi bank sebagai lembaga perantara keuangan yaitu lembaga yang menerima simpanan dari masyarakat dan menyalurkannya kembali ke masyarakat, sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi suatu negara. Untuk itu dana yang diterima dari masyarakat itu haruslah dikelola secara berhati-hati sehingga pemilik dana (nasabah penyimpan) tidak khawatir tentang keamanan dan ketersediaan simpanannya bila dibutuhkan. Agar fungsi bank sebagai lembaga perantara dapat berjalan dibutuhkan adanya kepercayaan masyarakat. Oleh karena itu keberadaan bank dalam kehidupan masyarakat mempunyai peran yang cukup penting,karena lembaga perbankan, merupakan inti sari dari sistem keuangan dari setiap negara.Bank merupakan lembaga keuangan yang menjadi tempat bagi perusahaan,lembaga pemerintah,swasta maupun perorangan menyimpan dananya,melalui lembaga perkreditan dan berbagai jasa yang diberikan.Bank juga melayani kebutuhan pembiayaan serta melancarkan mekanisme sistem pembayaran bagi semua sektor pembangunan. Maka jika dilihat dari kegiatannya dalam perekonomian maka menurut Adi Sulistiyono (2007: 321) kegiatan perbankan dapat dikategorikan sebagai kegiatan dalam bidang bisnis.

Selain itu yang khas dari tindak pidana perbankan yaitu tindak pidana tersebut dalakukan si pelaku dengan jalan penyalahgunaan kepercayaan yang diberikan kepadanya dari perusahaan atau masyarakat, dan menimbulkan kerugian bagi masyarakat maupun pihak bank sendiri, yang akhirnya merugak kepercayaan masyarakat terhadap bank dan menimbulkan sengketa hukum antara pihak bank dengan masyarakat. Sengketa hukum perbankan ini dibedakan menjadi dua jenis yaitu, sengketa hukum perdata yang merupakan sengketa hukum antara bank dan nasabah, dan sengketa hukum pidana yaitu sengketa yang terjadi akibat dilakukannya tindak pidana seperti yang diatur dalam Undang-Undang Perbankan (UUP).

Berdasarkan hal ini maka untuk menyelesaiakan sengketa yang terjadi dalam kegiatan perbankan ini, diperlukanlah cara penyelesaaian sengketa. Karena sarana penyelesaian sengketa sangat penting bagi pembangunan ekonomi, berkaitan dengan ini Adam Smith menyatakan (Adi Sulistiyono, 2007: 316), bahwa, hanya kedamaian, ringannya pajak, dan pelaksaan peradilan yang dapat diterima yang diperlukan untuk mengangkat negara yang paling melarat menjadi negara paling sejahtera, selebihnya tergantung pada faktor-faktor alami. Ada 2 (dua) cara penyelesaian sengketa yang dapat ditempuh pertama, menggunakan jalur litigasi dan yang kedua, melalui jalur non litigasi, Bagi Masyarakat bisnis sendiri nampaknya penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi kurang disukai dan umumnya mereka lebih menyukai penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi. Mengenai penyelesaian sengketa kegiatan di bidang bisnis ini Adi Sulistiyono mengungkapkan, bahwa (2007: 347):
“Bagi masyarakat bisnis efisiensi, efektivitas, masalah kesinambungan huibungan ,unsur percaya dan usaha membangun citra merupakan bagian dari beberapa factor utama yang senantiasa yang dipertimbangkan ketika melakukan investasi atau menjalin, membangun hubungan bisnis. Oleh karena itu, bila terjadi suatu sengketa, mereka biasanya cenderung lebih senang menempu jalur musyawarah (non litigasi) sehingga diharapkan hubungan mereka tidak terputus. Selain itu juga bagi masyarakat bisnis berhadapan dengan urusan pengadilan yang formal-rasional dan birokratis merupakan suatu urusan yang tak disukai. Salah satu cirri khas masyarakat ini adalah menyelesaiakan sesuatu urusan secepat mungkin sehingga tidak mengganggu aktivitas bismsnya, denagn demikian mereka lebih cenderung menempuh suatu cara yang anti formalitas”.

Berdasarkan hal diatas bisa disimpulkan bahwa sengketa bagi masyarakat bisnis adalah hal yang bisa merusak nama baik dan dapat menimbulkan kerugian bila tidak segera diselesaikan. Oleh karena iru, sudah merupakan kewajiban hukum untuk menyediakan sarana yang mampu memberikan kepastian hukum dan keadilan. Akan tetapi masyarakat bisnis pada umumnya tidak suka menyelesaikan sengketa melalui pengadilan karena hasil putusan pengadilan justru seringkali menyebabkan rasa permusuhan pihak-pihak yang bersengketa semakin dalam, menghabiskan waktu, tenaga dan biaya, serta menimbulkan ketidakpastian hukum. Mengenai hal ini Abraham Lincoln pernah menyatakan (M. Yahya Harahap, 1997: 160),
“Hindari berperkara di pengadilan, bujuk tetanggamu untuk berkompromi sedapat mungkin. Tunjukan kepada mereka bahwa pada hakikatnya pihak yang menang berperkara adalah pihak yang kalah, karena untuk memperoleh kemenangan itu, dia harus mengorbankan biaya yang mahal dan buang waktu percuma”. Selain itu juga ada pepatah cina yang menyebutkan (M. Yahya Harahap, 1997: 160), ”Berperkara di pengadilan menanamkan benih dendam bertahun-tahun. Serta menghancurkan hubungan keluarga dan persaudaraan”.

Kaitannya dengan tindak pidana perbankan, penjatuhan pidana dalam putusan pengadilan juga sama sekali tidak menyelesaikan masalah Rubin menyatakan (Barda Nawawi Arief, 1996: 51), “pemidanaan (apapun hakikatnya, apakah dimaksudkan untuk menghukum ataupun untuk memperbaiki) sedikit atau tidak mempunyai pengaruh terhadap masalah kejahatan”.Lebih lanjut Barda Nawawi Arief mengungkapkan (Barda Nawawi Arief, 1998: 75), “penggunaan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan hanya merupakan “kurieren am symptom”, yang berarti hukum pidana hanya menyembuhkan akibat dari kejahatan (penyembuhan symptomatik) dan bukan menyembuhkan penyebab terjadinya kejahatan (penyembuhan kausatif).

Ketidakmampuan pengadilan untuk mengemban amanat mnyelesaikan sengketa seperti yang diuraikan di atas menimbulkan keinginan dari masyarakat kalangan pelaku bisnis (kalangan perbankan termasuk di dalamnya) untuk mencari, mendapatkan, melirik, menggunakan, atau mengembangkan penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi.

Penyekesaian sengketa melalui jalur non litigasi sendiri nampaknya mulai mendapat tempat dalam dunia perbankan, dengan dibentuknnya Lembaga Mediasi Perbankan, Bank Indonesia (BI) Lembaga ini bertugas melakukan penyelesaian secara non litigasi (di luar pengadilan), dengan menggunakan mediasi sebagai sarana penyelesaian sengketa. Lembaga yang berkantor di kawasan Gedung BI ini terbentuk sesuai dengan Peraturan BI Nomor 8/5/PBI/2006.

Msdiasi merupakan model penyelesaian sengketa dimana pihak luar yang tidak memihak dan netral membantu pihsk-pihsk ysng bersengketa guna memperoleh penyelesaian sengketa yang disepakati (Adi Sulistiyono, 2007: 401). Untuk mengantisipasi kerugian dan melindungi kepentingan nasabah, BI tengah menjajaki digunakannya sarana mediasi untuk menyelesaikan sengketa perbankan yang menyangkut hukum pidana. Saat ini, mediasi perbankan menggunakan alas hukum perdata. Dalam mediasi, BI berusaha mendamaikan atau menyelesaikan sengketa yang tersangkut hukum pidana. Sebelumya juga pada juni 2006 BI telah membentuk Direktorat Investigasi dan Mediasi Perbankan (DIMP) yang antara lain akan bertugas melakukan investigasi dugaan tindak pidana di bidang perbankan. Pembentukan DIMP ini dianggap bagian dari rencana BI untuk mewujudkan mediasi sebagai alternatif penyelasaian tindak pidana perbankan di luar pengadilan.

Oleh: r324 | Januari 9, 2008

Aku Jatuh Cinta (lagi!)

Ku tak tahu harus memulai dari mana
Sang waktupun selalu mengejarku kesana
Tebang melayang,lalu menghilang

Tertelan kata kiasan cinta

Dirimu yang cantik,dan selalu menawan
Membuat susah diriku tuk katakan cinta
Namun hujan kan reda
Dan kitakan dapat berjalan bersama

Di hari itu dan di tempat itu
Bila kita tak saling berjumpa
Mungkin ini takkan terjadi
Aku jatuh cinta padamu

Hari ini kusuka,esok pasti kucinta
Takkan pernah berubah,perasaanku padamu
Andaikan kau tahu…..

Oleh: r324 | Juli 15, 2007

Cinta Karena Terbiasa

Aku bsa membuatmu jatuh cinta kepadaku meski kau tak cinta kepadakuBeri sedikit waktu biar cinta datang karena telah terbiasa

Petikan lagu Risalah Cinta dari Dewa 19 inilah yang melatarbelakangi judul diatas,ini merefleksikan kenyataan yang memang terjadi,bahwa rasa suka (cinta) itu datang biasanya cenderung diakibatkan karena seringnya kita berinteraksi dengan seseorang,bukan hanya karena tampang yang menarik dan rupawan belaka,karena semakin sering kita berinteraksi dengan seseorang maka seseorang ini cenderung akan semakin menyukai kita pula (asalkan interaksinya tidak berkonotasi negatif)

Hanya dengan lebih berdekatan secara fisik kita akan semakin lekat dihati seseorang,kadang-kadang kita membuat sebuah kesalahan fatal,dengan mencoba tampil misterius di hadapan seseorang,misalkan seperti tokoh rangga dalam film Ada Apa Dengan Cinta,dimana dalam film itu tokoh rangga ini mempunyai karakter yang cuek dan misterius sehingga membuat tokoh Cinta tertarik kepadanya dan akhirnya merekapun saling jatuh cinta.

Akan tetapi sayangnya itu hanya merupakan skenario film belaka,yang pada kenyataannya akan sangat sulit terjadi,karena dengan tampil sok misterius dengan sendirinya kita mengurangi interaksi dengan orang lain,karena orang lain atau bahkan diri kita sendiri cenderung akan lebih menyukai orang yang lebih dekat dengan kita (dalam artian sering berinteraksi dengan kita)

Jika diambil contoh lain yang berkaitan dengan Cinta Karena Terbiasa,bisa kita lihat dalam iklan-iklan produk-produk ditelevisi dimana sering kita lihat banyak iklan yang dipotong sehingga hanya menampilkan produk tersebut secara sekilas,ini merupakan salah satu siasat yang jitu,karena misalkan iklan penuh yang tadinya tidak selalu menampilkan produk tersebut diganti dengan potongan iklan yang hanya menampilkan produk tersebut dalam durasi yang sama.Ini dimaksudkan dengan seringnya produk mereka muncul ditelevisi maka masyarakat akan terbiasa dengan produk mereka,dan dengan terbiasanya masyarakat melihat produk ini masyarakat cenderung menindaklanjutinya dengan membeli produk tersebut.

Oleh karena itu jika anda tertarik dengan seseorang maka sering-seringlah anda muncul dan berinteraksi dengan si dia,dengan seringnya anda berinteraksi dengan si dia,nantinya diharapkan hubungan anda akan berlanjut ke jenjang yang lebih tinggi!amin.

Akan tetapi jangan terlalu sering yaaa!!! Nanti si dia bosan lagi! Ha..ha..ha..,ini berkaitan dengan Hukum Kelangkaan yang akan saya bahas pada artikel saya berikutnya!                                                                                                                          

                                                                                                                          By:R324 T3n541

Oleh: r324 | Juli 14, 2007

Advokat Sebagai Alat Kejahatan

1.Latar  Belakang

Penegakan hukum memang perlu tindakan nyata. Bukan sekadar pernyataan sikap atau slogan. Rakyat di negeri ini sangat merindukan realisasi atas sanksi bagi kejahatan yang selama ini telah diabaikan Peradilan secara terang-terangan lewat pembebasan pelakunya.

Dalam konteks tersebut, sering dirasakan kalau dunia peradilan mencari celah hukum agar bisa mengaburkan kasus, kemudian membebaskan pelaku karena tidak ada bukti yang dapat menjeratnya ke dalam sanksi hukum.

Kalaupun pengadilan menjatuhkan vonis, lamanya hukuman dinilai belum mewakili rasa keadilan masyarakat. Dan jika ada yang dijatuhkan hukuman berat, buntut-buntutnya sukar dieksekusi karena si pelaku buron ke luar negeri.

Fenomena itu sudah jadi rahasia umum. Negeri ini pun telah menjadi surga bagi koruptor dan pelanggaran hukum lainnya.Lantas dimanakah peran advokat sebagai salah satu aparat penegak hukum di Indonesia berada?advokat pada prinsipnya mempunyai peran yang vital dan krusial karena menjadi akses menuju keedilan dan penghubung antara masyarakat dengan Negara melalui institusi hukumnya.

Akan tetapi advokat pada kenyataannya malah menjadi salah satu pihak yang bertanggung jawab atas rusaknya system hukum kita ini berkaitan dengan keterlibatan advokat dalam suatu kejahatan terorganisir yang bernama “mafia peradilan” bersama dengan aparat pengadilan lainnya seperti panitera,jaksa dan tentunya hakim.

Dengan keterlibatan advokat dalam mafia peradilan ini menandakan bahwa kode etik profesi advokat tidak berfungsi sebagaimana mestinya dan juga menendakan rendahnya moralitas para advokat sekarang ini dan juga menjauhkan advokat dari sebutan profesi yang terhormat dan mulia (officium mobile).

Dengan begitu telaah mengenai kelayakan sebutan profesi yang terhormat dan mulia (officium mobile).bagi profesi advokat perlu dikaji lebih mendalam lagi,spskah sesuai dengan kenyataan yang ada ataukah masih jauh dari yang diharapkan.

2.Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas yang menjadi permasalahan yang menjadi bahasan kali ini adalah sebagai berikut:

1.Mengapa kode etik itu perlu?

2.Mengapa kode etik profesi (advokat) tidak berfungsi sebagaimana mestinya?

3.Bagaimana cara menegakan kode etik profesi advokat?

4.Bagaimana Kenyataan yang ada di lapangan dan layakkah profesi advokat mendapat sebutan profesi yang terhormat dan mulia (officium mobile)?

PEMBAHASAN 

1.Kode Etik Profesi Sebagai Suatu Keharusan

Profesi adalah suatu moral community (masyarakat moral) yang memiliki cita-cita dan nilai bersama.Mereka yang membentuk suatu profesi disatukan juga karena latar belakang pendidikan yang sama dan bersama-sama memiliki keahlian yang tertutup bagi orang lain.Dengan demikian profesi menjadi suatu kelompok yang mempunyai kekuasaan tersendiri dan karena itu mempunyai tanggung jawab khusus.Karena memiliki monopoli atas suatu keahlian tertentu,selalu ada bahaya profesi menutup diri bagi orang dari luar dan menjadi suatu kalangan yang sukar.ditembus.Oleh karena itu kode etik diperlukan untuk melindungi kalangan profesi ini dari hal-hal yang tak diinginkan.menurut Sumaryono dan diperjelas oleh I Gede A.B. Wiranata kode etik profesi mempunyai fungsi yang antara lain:a.Sebagai sarana Kontrol sosial-Kewajiban professional,refleksi moral anggota profesi-Hindari konflik kepentinganb.Sebagai pencegah campur tangan pihak lain-Standarisasi kewajiban professional-Tidak perlu lagi diatur Undang-Undangc.Sebagai pencegah kesalahpahaman dan konflik-Dirumuskan dengan jelas-Mudah dipahami oleh semua pihak-Pertimbangan kepentingan profesiBerdasarkan fungsi-fungsi kode etik ini muncul tiga prespektif berkaitan dengan kode etik profesi sebagai suatu keharusan antara lain:a.Prespektif universalistikprespektif inii pada intinya menyatakan bahwa kode etik adalah wujud konkret dari etika profesi yang melekat dalam diri setiap pengemban profesi sebagai bagian dari komitmen moralnya sebagai warga masyarakat yang menjalankan fungsi tertentu dalam masyarakat; b.Prespektif utilitarianDalam prespektif ini fungsi kode etik diukur dampaknya bagi kebaikan masyarakat secara keseluruhan yang artinya kode etik diperlukan untuk membatasi kebebasan professional karena dibelakang kebebasan itu terdapat kebebasan umum (masyarakat);c.Prespektif kritikPrespektif ini memandang kode etik tidak hanya berfungsi sebagai komitmen dan pedoman moral dari para pengemban profesi advokat,ataupun hanya sebagai mekanisme yang dapat menjamin kelangsungan hidup profesi di dalam masyarakat.Tapi pada intinya kode etik berfungsi sebagai alat perjuanganuntuk menjawab persoalan-persoalan hhukum yang ada di dalam masyarakat Oleh karenanya berdasdarkan uraian diatas janganlah lagi kita mempertanyakan tentang perlu atau tidaknya kode etik profesi,karena kode etik bukan hanya diperlukan oleh setiap profesi akan tetapi sudah menjadi sebuah keharusan yang harus ada,bahkan sebuah kelompok tidak bias disebut sebagai sebuah kelompok profesi jika tidak mempunyai sebuah kode etik

2.Kode Etik Juga Punya Kelemahan

Seperti kata pepatah ‘tiada gading yang tak retak’ begitu juga dengan kode etik profesi advokat sebagus apapun kode etik dibuat tetap saja tak sempurna pasti mempunyai kelemahan-kelemahan mendasar yang antara lain:a.Lemahnya sanksiLemahnya sanksi merupakan hambatan pokok dalam bagi penegakan kode etik meskipun aturan mengenai kode etik ini sudah dimasukan dalam sebuah undang-undang (UU No 18 Tahun 2003 tentang Advokat) sekalipun.sebenarnya hal ini harus kita maklumi karena dari sudut pandang antropologi hukum kode etik mencakup lebih banyak makna-makna buday adan simbolik daripada seperangkat alat pengawasan yang operasional.b.Aturan dalam kode etik tak menimbulkan kepatuhan anggota profesiBila dilihat dari sudut pandang lain,klemahan subtansi kode etik bukan hanya berasal dari kelemahan sanksi tapi lebih dari ketidakmampuan norma-norma dalam kode etik tersebut untuk menimbulkan kepatuhan pada para advokat anggotanya.Bahkan dalam kode etik sebenarnya ada bagian yang memuat pengaturan mengenai sanksi-sanksi yang dapat diberikan kepada advokat yang melanggar kode etik.c.Tidak berfungsinya dewan kehormatan Dewan kehormatan advokat yang diatur dalam pasal 10 Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI) dan dalam pasal 26-27 UU No 18 Tahun 2003 tentang Advokat,tidak akan efektif baik di pusat maupun daerah karena sangat diragukan aka nada pihak yang melaporkan advokat yang telah melanggar kode etik.mulai dari masyarakat yanga pada uumnya tak mengetahui keberadaan dewan kehormatan ini.sesama advokat yang justru terbentur oleh ketertutupan kelompok profesi itu sendiri,sampai pejabat pemerintah yang hampir pasti juga terlibat (mafia peradilan).d.Budaya advokat di Indonesia Bisa disebut juga sebagai budaya ‘solidaritas korps’ yang bermakna luas sebagai ‘semangat untuk membela kelompok atau korpnya’Hal-hal diatas inilah yang bias menjadi sebuah alasan mengapa kode etik profesi advokat ini tak berjalan sebagaimana mestinya.  

3.Continuing Legal Education (CLE) Sebagai Cara Penegakan Kode Etik      Paling Realistis

Penegakan kode etik advokat adalah hal yang menjadi sorotan banyak orang dan seluruh elemen penegak hukum di Indonesia.Penegakan kode etik diartikan sebagai kemampuan komunitas advokat dan organisasinya untuk memaksakan kepatuhan atas ketentuan-ketentuan etik bagi para anggotanya,memproses dugaan terjadinya pelanggaran kode etik  dan menindak anggota yang melangar ketentuan-ketentuan yang tercantum didalamnya. Dengan melihat ketentuan tentang tanggung jawab dan fungsi organisasi advokat tersebut, maka dapat dikatakan bahwa organisasi advokat juga harus mendukung penegakan kode etik.Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan pengawasan yang ketat terhadap perilaku dan etika para advokat. Dalam konteks inilah peran kode etik advokat mengemuka dan menjadi alat untuk monitoring perilaku advokat untuk memastikan kualitas pelayanan, integritas dan membela kepentingan masyarakat di bidang hukum dan peradilan. Selanjutnya, untuk tetap mempertahankan kualitas para anggotanya, sebuah organisasi advokat harus memperhatikan kompetensi intelektual para anggotanya agar lebih baik lagi mutu pelayanannya kepada masyarakat. Proses ini dikenal sebagai proses Continuing Legal Education (CLE).Dengan adanya pengawasan yang ketat, sistem rekrutmen yang tidak koruptif, program training dan program CLE yang dilakukan secara konsisten oleh organisasi advokat diharapkan akan tercipta advokat-advokat yang tidak hanya memiliki ilmu pengetahuan yang luas tapi juga memiliki moralitas yang baik pula. Sehingga mereka tahu akan tugas, fungsi dan perannya sebagai seorang advokat yang profesional, yang mempunyai komitmen untuk membela kebenaran dan keadilan tanpa rasa takut, yang memiliki pendirian yang teguh berpihak kepada keadilan dan kebenaran serta yang tidak selalu hanya memikirkan keuntungan bagi dirinya sendiri. Karena itu sudah merupakan keharusan bagi setiap advokat untuk mendukung dan turut berperan dalam penegakan kode etik ini

4.Advokat sebagai alat kejahatan (sebuah analisis kritis)

Terjadi peristiwa yang bersejarah bagi dunia penegakan hukum di Indonesia yaitu saat diberlakukannya  UU No.18 tahun 2003 tentang Advokat kareana dengan berlakunya undang-undang ini maka posisi advokat menjadi sebuah profesi advokat mendapat pengakuan yang sejajar dengan lembaga penegak hukum lainnya yang lebih dulu mendapatkannya yaitu polisi,jaksa dan hakim.Profesi advokat adalah profesi yang terhormat dan mulia (officium mobile) menurut UU No.18 tahun 2003 tentang advokat akan tetapi saya yakin yang beranggapan demikian hanya kalangan profesi advokat saja tetapi saya juga yakin bahkan dari kalangan profesi advokat pun banyak yang mempertanyakan sebutan teersebut karena pada implementasinya masih jauh ‘panggang dari api’ dan masih belum terpenuhi tuntutan sebagaimana mestinya menurut yang dimaksud UU ini. Sebaliknya profesi advokat terlanjur di cap ikut menyumbang terhadap kebobrokan negeri.Kenyataan ini sulit dibantah, karena masih adanya nyanyian sumbang di tengah-tengah masyarakat kite bahwa advokat bekerja bukan untuk membela yang benar, tetapi membela yang bayar. Tidak sedikit pelaku kejahatan di negeri ini mulai dari koruptor, sampai pada pelaku kejahatan perbankan dan narkotika dapat lolos dari jeratan hukum karena lihainya advokat melakukan pembelaan.Inilah fenomena di hukum kita. Layaknya rimba belantara, di rimba berlaku hukum siapa yang kuat dia yang menang. Hal seperti inilah yang tengah teriadi dan prang-orang menyebut sebagai mafia peradilan. Dalam situasi lingkaran setan mafia peradilan itu profesi advokat dalam proses peradilan sering didorong menempuh cara-cara kotor. Advokat berlaku sebagai mediator (penghubung) bahkan pelaku langsung, melakukan negoisiasi (berkolusi) dengan penegak hukum lainnya. Sebab pada umumnya kebanyakan klien merasa takut atau enggan langsung melakukan pendekatan dengan polisi, jaksa dan hakim. Advokat dengan sengaja membuat dalil yang membelokkan permasalahan pokok, mengaburkan permasalahan hukum atau melanggar kode etik profesi. Advokat menyembunyikan barang bukti, mempersulit penyidik untuk mendapatkan bukti-bukti (barang, ataupun keterangan saksi), bahkan oknum Advokat ada yang membuat bukti palsu dan lain-lainnya. Akhirnya, profesi Advokat dari masa ke masa hanya menjadi korban uang dan politik kekuasaan. Peranan profesi advokat ditekan, dikerdilkan dan tidak diberikan peluang untuk dapat berperan menyuarakan kebenaran dan keadilan yang mengakibatk-an runtuhnya moral dan integritas profesi Advokat. Adovakat dipaksa bertekuk lutut di bawah cengkeraman uang. Sehingga muncul sebutan-sebutan berkonotasi negatif yang diberikan masyarak-al kepada sqjumlah oknum advokat tertentu, misalnya:,”Advokat tidak pernah kalah- adalah sebutan yang diberikan kepada Advokat yang selalu berhasil memenangkan perkara atau membebaskan klien dari tuntutan hukum. Dalam prakteknya Advokat ini mempunyai hubungan perselingkuhan dan jaringan oknum jaksa atau hakim sehingga selalu terbuka akses untuk melakukan lobi-lobi secara cepat. Melakukan penyuapan unluk kepentingan kliennya. Kedua:Advokat rekanan adalah sebutan bagi Advokat yang terjalin dalam konspirasi dengan oknum polisi, jaksa dan hakim untuk menjadi kuasa hukum terhadap tersangka atau terdakwa dalam kasus-kasus tertentu. Maksudnya adalahoknum akan memberikan rekomendasi kepada tersangka atau terdakwa untuk menggunakan Advokat tertentu untuk menjadi kuasa hukumnya jika ingin diberikan hukuman yang ringan atau bahkan dibebaskan dari tuntutan. Ketiga:Advokat yang secara profesional tidak mempunyai kecakapan untuk meqadi seorang kuasa hukum. Adyokat ini jika menerima order perkara, pertama tindakannya bukan mencari dalil, bukti dan fakta untuk menjadikannya sebagai dasar pembelaan perkara atau untuk membangun sebuah alibi. Tetapi, kasak-kusuk mencari oknum-oknum polisi, jaksa dan hakim untuk disuap untuk meringankan, bahkan membebaskan kliennya. Tak pelak lagi, anggapan sebagian masyarakat bahwa advokat merupakan salah sata profesi penyumbang terbesar terhadap kebobrokan negeri ini, semakin kental dan tidak terbantahkan.Mungkin tindakan advokat yang demikian berani melanggar kode etik profesinya ini diakibatkan oleh ketentuan dalam UU advokat sendiri yaitu pasal 16 mengenai advokat tidak dapat dituntut dalam menjalankan tugas profesinya,sehingga para advokat cenderung kebablasan dalam menjalankannya (mafia peradilan)Inilah yang menjadi alasan saya menyebut advokat seebagai alat kejahatan bukan lagi sebagai profesi yang terhormat dan mulia (officium mobile) karena inilah yang pantas dilihat dari kenyataan yang ada Bila disederhanakan ada empat alasan mengapa advokat disebut sebagai alat kejahatan antara lain:1.Advokat bersedia melakukan apapun untuk memenangkan perkara 2.Advokat sering memutarbalikan fakta 3.Advokat sering mempermainkan hukum4.Advokat banyak berorientasi pada uang Lalu dimanakah etika profesi hukum berada,etika profesi hanya menjadi sebuah symbol belaka,symbol dari.sebuah profesi,dan tak memiliki fungsi yang lain karena dengan segala kelemahannya etika profesi menjadi tak berarti lagi bahkan CLE seperti yang telah saya sebutkan diatas sebagai cara penegakan kode etik paling realistispun bahkan hanya merupakan langkah preventif yang tidak bersifat represif atau menanggulangi kejahatan yang sudah ada .

Kesimpulan

Profesi advokat berdasarkan fakta yang ada tak dapat disangkal lagi sudah gagal menampilkan dirinya sebagai profesi yang terhormat yang terjadi malah profesi advokat menjadi alat kejahatan,suatu hal yang menggelikan saya rasa,tapi mau bagaimana lagi sebenarnya ini semua kembali kepada tingkat moralitas seorang advokat Hal lainnya yang juga mendukung terciptanya advokat sebagai alat kejahatan adalah segala aturan yang ada mengenai advokat dari mulai kode etik profesi sampai dengan undang-undang lebih bersifat preventif dan tidak bersifat represif

Older Posts »

Kategori